Thursday 20 November 2014

Kichiyo's Story

Kichiyo’s Story



Musim gugur.

            Kichiyo tersenyum, dia sangat menikmati musim gugur. Daun-daun yang berubah warna menjadi kuning atau merah memberinya sebuah ketenangan tersendiri. Aroma tanah yang terbawa angin yang sejuk seolah menghapus semua jejak panas yang tersisa di musim panas. Lewat celah daun yang kemerahan, dia mengamati langit biru di atas sana.

Biru….

Betapa dia ingin terbang dengan bebas di atas sana, pasti sangat menyenangkan. Sejak kecil dia sering bertanya pada ibunya, kenapa langit berwarna biru? dan tentu saja hanya dibalas senyuman dari ibunya. Tapi setelah dia mengetahuinya, dia merasa lebih baik untuk tidak mengetahuinya saja. Mungkin karena itu dia bersikap seperti ini, anak kecil yang selalu menatap dunia dengan mata polosnya.

“Hhhh…”, tanpa sadar dia menghela nafas. Lelah huh? Tapi pada apa?... Dia pun tak tau.

Pluk

Sehelai daun terselip di antara jemari tangannya yang terulur ke atas. Mata dark brownnya tampak mengamati setiap detail daun itu.

Sretttt

Kichiyo tersentak saat daun itu direbut oleh jemari lain, dia mengembungkan pipinya saat mengetahui siapa yang mengambilnya.

“Senpai!!”, ucapnya kesal, walaupun seperti itu, dia tetap enggan merubah posisinya; tertidur di bawah pohon mapple di taman sekolahnya.

Pria itu tampak menyunggingkan senyum jahil, “Apa yang kau lakukan disini?”, rambut blonde pria itu tampak bercahaya akibat posisinya yang membelakangi cahaya matahari. Kichiyo menatap sang senior dengan tatapan yang tak terbaca.

‘Semua orang tampak bercahaya…’, batinnya.

Pria itu tersenyum, bukan senyum jahil tapi senyum yang entahlah…Kichiyo tak mengerti. Gadis berambut hitam itu lebih memilih memejamkan mata, tak mempedulikan tatapan senpainya.

Sreeettt

Kichiyo merasakan kepalanya diangkat dengan perlahan, lalu diletakkan di atas sesuatu yang lembut. Dia hanya diam saja, tidak menolak ataupun mengucapkan terima kasih. Dia berpikir, kenapa senpainya memperlakukannya seperti ini? Bukankah mereka baru bertemu beberapa bulan? Terlebih dari itu….dia bukanlah apa-apa, tidak lebih dari seorang gadis SMA yang pendiam dan bahkan tak tau ‘siapa’ dirinya.

Plukkk

Dia merasakan sesuatu yang ringan menempel di kelopak matanya, jemarinya menggapai ‘sesuatu’ tersebut. Sehelai daun kering, matanya mengerjap lalu menatap senpainya yang tepat berada di atasnya. Dia tampak berkonsentrasi pada smartphonenya, bermain game huh?

Kenapa semua orang suka bermain game?
Apa jika dia bisa mahir bermain game dia akan menjadi terkenal? Setidaknya seseorang bisa menyadari keberadaannya.
Setidaknya ada orang yang mau melihatnya.
Setidaknya sekali saja…dia ingin diperlakukan seperti sebuah benda berharga.

“Berpikir banyak hal lagi huh?”

Kichiyo mengerjapkan matanya.

Sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

“Eh????”, Kichiyo gelagapan, merasa malu karena senpainya mendapatinya melamun lagi. Laki-laki bermata biru itu tampak menghela nafas, tiba-tiba tatapan matanya berubah serius. Dia menatap dalam mata dark brown Kichiyo. Kichiyo bisa merasakan pipinya menghangat, tapi sebisa mungkin disembunyikannya. Hei, dia tsundere, ingat?

BLETAKK

“Aishhhh…sakit!!”, Kichiyo mengembungkan pipinya, sebuah kebiasaan yang sudah sangat mendarah daging.

“Hahahahaha”, Akatsuki Sora tertawa sangat keras. Kichiyo tertegun melihatnya, lalu memalingkan wajahnya.

“Hei…”

“Hum?”

“Dunia ini sederhana saat kau berpikir seperti itu”

“Huh?”, Kichiyo menatap Akatsuki yang kini menatap langit yang mulai sedikit tersapu warna merah kuas senja. Entah kenapa Akatsuki tampak berbeda, lebih bersinar, lebih mengagumkan, lebih…hangat.

“Kau berpikir banyak hal sampai kau melupakan hal kecil disekitarmu. Kau banyak berpikir tapi kau melupakan hal kecil, karena itu kau tak ada bedanya dengan anak kecil”, pria itu menghentikan ucapannya, lalu mengalihkan tatapannya pada mata Kichiyo. “Padahal…hidup ini sangat sederhana”.

“A-aku tidak mengerti…”, Kichiyo berbisik lirih, dia mengangkat kepalanya dari pangkuan Akatsuki.

“Aku percaya padamu. Apa kau percaya padaku?”

“…”

Untuk beberapa detik, Kichiyo bersumpah melihat kilat kecewa terpancar dari mata biru itu. Dia merasa…bersalah.

“Ma-…”

“Rasa bersalahmu adalah permintaan maafmu dan saat kau berhasil memperbaikinya maka saat itulah kau baru boleh memohon maaf”

Kichiyo tersentak, sakit hati dengan ucapan Akatsuki. Dia menundukkan kepalanya, “A-aku tidak mengerti…”.

TES
TES
TES

Air matanya jatuh di atas rok sekolahnya.

“Kau mengerti, tapi kau tak mau menerimanya”.

Kichiyo ingin berlari, tapi dia ingat pesan sang senior. ‘Kau tidak akan pernah bisa menyelesaikannya dengan menghindarinya’

Jadi dia hanya duduk bersimpuh di depan Akatsuki yang kini menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca. Sejujurnya, getaran di tangan pria blonde itu bisa menjelaskan seberapa banyak dia ingin menenangkan gadis di depannya. Dia hanya…tak bisa. Dia menyayanginya, karena itu dia ingin gadis itu menderita hanya karena tangannya. Karena ini satu-satunya cara.

“A-aku lelah”, ucap Akatsuki.

“Nii-san…”, Kichiyo menatap Akatsuki dengan mata berair. Sudah sebulan lebih dia tidak mendengar gadis itu memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’, perasaan hangat sedikit menelusup lewat sela hatinya.

“Aku sudah memberimu tempat, sekarang terserah kau ingin memanfaatkannya atau tidak. Aku sudah mengatakan semua hal yang ku ketahui tentang hidup ini, aku sudah menjawab semua pertanyaanmu tentang hidup ini. Tapi…maaf, kau harus bisa berdiri dengan kedua kakimu”, dengan itu Akatsuki berdiri, menepuk celananya pelan lalu melempar tatapan jahil seperti biasanya pada gadis itu.

Pluk

“Ne…Kichiyo-chan, kau tau wajahmu sangat jelek. Rambutmu berantakan dan kotor”, Akatsuki mengacak rambut Kichiyo kasar sebelum meninggalkan gadis itu diiringi sebuah tawa jahil seperti biasanya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa….

Jika seperti biasanya Kichiyo akan berlari dan mengejar Akatsuki, kini dia hanya menatap punggung pria itu yang berjalan ke arah matahari terbenam. Sekali lagi membuat pria itu tampak lebih bersinar dari biasanya.

TES
TES
TES

“Nii-san…-

-…huks…Nii-san”


Syuuuttttttt
Angin dingin berhembus menerpa kulit gadis itu.

“Nii-san”

Pluk

Kichiyo tersentak saat merasakan sebuah tangan di pundaknya. Dia menoleh untuk mendapati sebuah senyum jahil dari pria di belakangnya. Sebuah blazer yang sama ditambah sebuah syal berwarna hijau terlilit di leher pria itu, asap mengepul dari bibirnya saat dia berbicara.

“Memikirkan banyak hal lagi huh?”

Kichiyo tersenyum, bibirnya terasa kaku karena suhu yang terlalu rendah. Pria itu tersenyum, rambut perak pria itu entah kenapa tampak menyatu dengan salju di sekitarnya. Mata ambernya tersenyum hangat ke arah Kichiyo, membuat Kichiyo tak bisa menahan diri untuk tak ikut tersenyum.

PLOP

Sebuah penutup telinga kini terpasang dengan pas di telinga Kichiyo, “Lihatlah, kau membeku. Seberapa banyak kau menyukai salju sampai tak memakai scarf ataupun sarung tangan?”

“Kau khawatir padaku?”

“Tentu saja, siapa lagi yang harus ku bully setiap hari kalau kau sakit?”

“Huh…kau tau itu menyakitkan”

“Dan aku tidak peduli”

Souta menarik tangan gadis itu, menuntunnya untuk masuk ke gedung sekolah. Kichiyo hanya diam mengikutinya dari belakang setelah melepas tarikan pria itu.

“Kau tau, aku bahkan tak tau apa yang benar-benar aku sukai”, ucap gadis itu tiba-tiba membuat keduanya berhenti.

Hening beberapa saat sebelum Souta menghela nafas berat, “Kau hanya terlalu banyak berpikir. Ayo masuk!”, lalu menarik gadis itu untuk lebih cepat melewati koridor sekolah yang sepi.

Kichiyo tersenyum, dia merasa dejavu. Dalam hati dia masih bertanya-tanya apa maksud ucapan Akatsuki hari itu. Ini sudah sampai pertengahan musim dingin, dia belum bertemu dengan Akatsuki sejak kejadian itu. Dia merasa belum pantas memohon maaf padanya. Tapi dia sudah bertekad, dia akan mencari tahu sebanyak yang dia perlukan, sampai dia mengerti Akatsuki, sampai dia mengerti dunia ini. Dia menatap punggung pria di depannya, lalu tersenyum dengan penuh rasa terima kasih.

“Hei Kichiyo-san”

“Apa? Souta-san?”

“Kau...berhentilah bersikap seperti anak kecil”

“…”

“Kau tau, suatu hari nanti akan ada situasi dimana kau harus jujur pada dirimu sendiri”

“…”

Tiba-tiba Souta menghentikan langkahnya, lalu berbalik untuk menatap Kichiyo.

“Kau tau…aku mempercayaimu”

“Aku tau”

Souta tersenyum lebar, “Sekarang aku mendapat satu point tentangmu”

“Eh? Apa?”

“Kau benci menjadi orang dewasa karena mereka terlalu banyak berpikir. Tapi…bukankah kau juga melakukannya? Kau…hanya ingin sebuah kamuflase agar tak ada yang tahu seberapa rumit cara berpikirmu. Kau sedikit berbicara karena terlalu banyak berpikir, tapi sayangnya itu malah menusukmu balik”

Kichiyo mengerjap, dia tak menyalahkannya tapi juga tak membenarkannya. Dia…sekali lagi tak mengerti. Apa dia benar-benar seperti itu?

Souta menghela nafas, “Efek sampingnya, kau jadi tak mempercayai orang lain. Bahkan kau bingung pada dirimu sendiri”

Tanpa sadar Kichiyo melepaskan tangan Souta karena kaget. Semua ucapan Souta seolah menohoknya.

“Kau ingin orang lain mempercayaimu, melihatmu. Tapi apa kau pernah melihat orang lain? Karena itu, bukan sikapmu yang kusebut seperti anak kecil. Tapi…cara berpikirmu. Kau lebih egois dari bayi yang ingin memonopoli ibunya. Bahkan bayi mempercayai ibunya, tapi kau bahkan tak bisa jujur pada dirimu sendiri”

Kichiyo menatap Souta dengan tatapan tak percaya.

“Kau mengerti dunia ini, lebih dari siapapun. Karena kau pengamat setiap pergerakan manusia…bahkan alam. Tapi kenapa kau berpura-pura tak tahu? Apa dunia ini semenakutkan itu?”, Souta menatap Kichiyo lembut, dia sekarang seolah mampu membaca gadis itu seperti buku dongen bergambar. Setiap pergerakan gadis itu, sekecil apapun kini mampu tertangkap oleh matanya.

“Kau tau….ada banyak hal kecil yang kau lupakan. Ada begitu banyak orang yang melihatmu, kau hanya perlu mempercayai mereka….”

“A-aku…”, Kichiyo menghentikan ucapannya, matanya tertutupi oleh bayangan poninya. Sebuah tarikan nafas berat yang disusul dengan hembusan nafas kasar. Dia seolah ingin membuang semua beban yang selama ini dimpannya seorang diri.

Dia menatap Souta dengan sebuah senyum di wajahnya, “Aku mempercayaimu”, ucapnya mantap. Souta tersenyum lalu merangkul pundak kecil gadis itu, “Aku tak akan mengecewakanmu”

“Maafkan aku, Nii-san”

Dari kejauhan seorang pria dengan rambut blonde dan scarf biru yang sewarna dengan matanya, menatap mereka dari kejauhan. Sebuah senyum manis tersemat di wajahnya, “Maaf diterima”

“Tsuki-kun!”

Akatsuki menoleh untuk mendapati Yuhi yang menatapnya bingung. “Ada apa?”, tanya gadis berambut pink itu.

“Tidak, ayo ke kelas!”, ucapnya lalu berjalan tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya kekasihnya itu.

“Karena inilah caraku melindungi adikku dari dunia ini…”

Dia mengeluarkan smarthponenya, lalu mulai larut pada game yang baru saja selesai di downloadnya. Tak menghiraukan jeritan kesal sang kekasih, dia berbelok ke kelasnya lalu duduk di bangku paling pojok.

“Karena adikku tetaplah gadis polos yang masih buta pada dunia”

“Kichiyo Ayami…”

“EH?? APA KAU BARU SAJA MENGATAKAN NAMA PEREMPUAN LAIN??”

“Berisik!”

“Kubunuh kau Akatsukiiiii!!!!!”



END