Kichiyo’s Story
Musim gugur.
Kichiyo tersenyum, dia sangat
menikmati musim gugur. Daun-daun yang berubah warna menjadi kuning atau merah
memberinya sebuah ketenangan tersendiri. Aroma tanah yang terbawa angin yang
sejuk seolah menghapus semua jejak panas yang tersisa di musim panas. Lewat
celah daun yang kemerahan, dia mengamati langit biru di atas sana.
Biru….
Betapa
dia ingin terbang dengan bebas di atas sana, pasti sangat menyenangkan. Sejak
kecil dia sering bertanya pada ibunya, kenapa langit berwarna biru? dan tentu
saja hanya dibalas senyuman dari ibunya. Tapi setelah dia mengetahuinya, dia
merasa lebih baik untuk tidak mengetahuinya saja. Mungkin karena itu dia
bersikap seperti ini, anak kecil yang selalu menatap dunia dengan mata
polosnya.
“Hhhh…”,
tanpa sadar dia menghela nafas. Lelah huh? Tapi pada apa?... Dia pun tak tau.
Pluk
Sehelai
daun terselip di antara jemari tangannya yang terulur ke atas. Mata dark
brownnya tampak mengamati setiap detail daun itu.
Sretttt
Kichiyo
tersentak saat daun itu direbut oleh jemari lain, dia mengembungkan pipinya
saat mengetahui siapa yang mengambilnya.
“Senpai!!”,
ucapnya kesal, walaupun seperti itu, dia tetap enggan merubah posisinya;
tertidur di bawah pohon mapple di taman sekolahnya.
Pria
itu tampak menyunggingkan senyum jahil, “Apa yang kau lakukan disini?”, rambut
blonde pria itu tampak bercahaya akibat posisinya yang membelakangi cahaya
matahari. Kichiyo menatap sang senior dengan tatapan yang tak terbaca.
‘Semua
orang tampak bercahaya…’, batinnya.
Pria
itu tersenyum, bukan senyum jahil tapi senyum yang entahlah…Kichiyo tak
mengerti. Gadis berambut hitam itu lebih memilih memejamkan mata, tak
mempedulikan tatapan senpainya.
Sreeettt
Kichiyo
merasakan kepalanya diangkat dengan perlahan, lalu diletakkan di atas sesuatu
yang lembut. Dia hanya diam saja, tidak menolak ataupun mengucapkan terima
kasih. Dia berpikir, kenapa senpainya memperlakukannya seperti ini? Bukankah
mereka baru bertemu beberapa bulan? Terlebih dari itu….dia bukanlah apa-apa, tidak
lebih dari seorang gadis SMA yang pendiam dan bahkan tak tau ‘siapa’ dirinya.
Plukkk
Dia
merasakan sesuatu yang ringan menempel di kelopak matanya, jemarinya menggapai
‘sesuatu’ tersebut. Sehelai daun kering, matanya mengerjap lalu menatap
senpainya yang tepat berada di atasnya. Dia tampak berkonsentrasi pada
smartphonenya, bermain game huh?
Kenapa
semua orang suka bermain game?
Apa
jika dia bisa mahir bermain game dia akan menjadi terkenal? Setidaknya
seseorang bisa menyadari keberadaannya.
Setidaknya
ada orang yang mau melihatnya.
Setidaknya
sekali saja…dia ingin diperlakukan seperti sebuah benda berharga.
“Berpikir
banyak hal lagi huh?”
Kichiyo
mengerjapkan matanya.
Sekali.
Dua
kali.
Tiga
kali.
“Eh????”,
Kichiyo gelagapan, merasa malu karena senpainya mendapatinya melamun lagi.
Laki-laki bermata biru itu tampak menghela nafas, tiba-tiba tatapan matanya
berubah serius. Dia menatap dalam mata dark brown Kichiyo. Kichiyo bisa
merasakan pipinya menghangat, tapi sebisa mungkin disembunyikannya. Hei, dia
tsundere, ingat?
BLETAKK
“Aishhhh…sakit!!”,
Kichiyo mengembungkan pipinya, sebuah kebiasaan yang sudah sangat mendarah
daging.
“Hahahahaha”,
Akatsuki Sora tertawa sangat keras. Kichiyo tertegun melihatnya, lalu
memalingkan wajahnya.
“Hei…”
“Hum?”
“Dunia
ini sederhana saat kau berpikir seperti itu”
“Huh?”,
Kichiyo menatap Akatsuki yang kini menatap langit yang mulai sedikit tersapu
warna merah kuas senja. Entah kenapa Akatsuki tampak berbeda, lebih bersinar,
lebih mengagumkan, lebih…hangat.
“Kau
berpikir banyak hal sampai kau melupakan hal kecil disekitarmu. Kau banyak
berpikir tapi kau melupakan hal kecil, karena itu kau tak ada bedanya dengan
anak kecil”, pria itu menghentikan ucapannya, lalu mengalihkan tatapannya pada
mata Kichiyo. “Padahal…hidup ini sangat sederhana”.
“A-aku
tidak mengerti…”, Kichiyo berbisik lirih, dia mengangkat kepalanya dari
pangkuan Akatsuki.
“Aku
percaya padamu. Apa kau percaya padaku?”
“…”
Untuk
beberapa detik, Kichiyo bersumpah melihat kilat kecewa terpancar dari mata biru
itu. Dia merasa…bersalah.
“Ma-…”
“Rasa
bersalahmu adalah permintaan maafmu dan saat kau berhasil memperbaikinya maka
saat itulah kau baru boleh memohon maaf”
Kichiyo
tersentak, sakit hati dengan ucapan Akatsuki. Dia menundukkan kepalanya, “A-aku
tidak mengerti…”.
TES
TES
TES
TES
Air
matanya jatuh di atas rok sekolahnya.
“Kau
mengerti, tapi kau tak mau menerimanya”.
Kichiyo
ingin berlari, tapi dia ingat pesan sang senior. ‘Kau tidak akan pernah bisa menyelesaikannya dengan menghindarinya’
Jadi
dia hanya duduk bersimpuh di depan Akatsuki yang kini menatapnya dengan tatapan
yang tak terbaca. Sejujurnya, getaran di tangan pria blonde itu bisa
menjelaskan seberapa banyak dia ingin menenangkan gadis di depannya. Dia
hanya…tak bisa. Dia menyayanginya, karena itu dia ingin gadis itu menderita
hanya karena tangannya. Karena ini satu-satunya cara.
“A-aku
lelah”, ucap Akatsuki.
“Nii-san…”,
Kichiyo menatap Akatsuki dengan mata berair. Sudah sebulan lebih dia tidak
mendengar gadis itu memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’, perasaan hangat
sedikit menelusup lewat sela hatinya.
“Aku
sudah memberimu tempat, sekarang terserah kau ingin memanfaatkannya atau tidak.
Aku sudah mengatakan semua hal yang ku ketahui tentang hidup ini, aku sudah
menjawab semua pertanyaanmu tentang hidup ini. Tapi…maaf, kau harus bisa
berdiri dengan kedua kakimu”, dengan itu Akatsuki berdiri, menepuk celananya
pelan lalu melempar tatapan jahil seperti biasanya pada gadis itu.
Pluk
“Ne…Kichiyo-chan,
kau tau wajahmu sangat jelek. Rambutmu berantakan dan kotor”, Akatsuki mengacak
rambut Kichiyo kasar sebelum meninggalkan gadis itu diiringi sebuah tawa jahil
seperti biasanya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa….
Jika
seperti biasanya Kichiyo akan berlari dan mengejar Akatsuki, kini dia hanya
menatap punggung pria itu yang berjalan ke arah matahari terbenam. Sekali lagi
membuat pria itu tampak lebih bersinar dari biasanya.
TES
TES
TES
TES
TES
“Nii-san…-
-…huks…Nii-san”
Syuuuttttttt
Angin
dingin berhembus menerpa kulit gadis itu.
“Nii-san”
Pluk
Kichiyo
tersentak saat merasakan sebuah tangan di pundaknya. Dia menoleh untuk
mendapati sebuah senyum jahil dari pria di belakangnya. Sebuah blazer yang sama
ditambah sebuah syal berwarna hijau terlilit di leher pria itu, asap mengepul
dari bibirnya saat dia berbicara.
“Memikirkan
banyak hal lagi huh?”
Kichiyo
tersenyum, bibirnya terasa kaku karena suhu yang terlalu rendah. Pria itu
tersenyum, rambut perak pria itu entah kenapa tampak menyatu dengan salju di
sekitarnya. Mata ambernya tersenyum hangat ke arah Kichiyo, membuat Kichiyo tak
bisa menahan diri untuk tak ikut tersenyum.
PLOP
Sebuah
penutup telinga kini terpasang dengan pas di telinga Kichiyo, “Lihatlah, kau
membeku. Seberapa banyak kau menyukai salju sampai tak memakai scarf ataupun
sarung tangan?”
“Kau
khawatir padaku?”
“Tentu
saja, siapa lagi yang harus ku bully setiap hari kalau kau sakit?”
“Huh…kau
tau itu menyakitkan”
“Dan
aku tidak peduli”
Souta
menarik tangan gadis itu, menuntunnya untuk masuk ke gedung sekolah. Kichiyo
hanya diam mengikutinya dari belakang setelah melepas tarikan pria itu.
“Kau
tau, aku bahkan tak tau apa yang benar-benar aku sukai”, ucap gadis itu
tiba-tiba membuat keduanya berhenti.
Hening
beberapa saat sebelum Souta menghela nafas berat, “Kau hanya terlalu banyak
berpikir. Ayo masuk!”, lalu menarik gadis itu untuk lebih cepat melewati
koridor sekolah yang sepi.
Kichiyo
tersenyum, dia merasa dejavu. Dalam hati dia masih bertanya-tanya apa maksud
ucapan Akatsuki hari itu. Ini sudah sampai pertengahan musim dingin, dia belum
bertemu dengan Akatsuki sejak kejadian itu. Dia merasa belum pantas memohon
maaf padanya. Tapi dia sudah bertekad, dia akan mencari tahu sebanyak yang dia
perlukan, sampai dia mengerti Akatsuki, sampai dia mengerti dunia ini. Dia
menatap punggung pria di depannya, lalu tersenyum dengan penuh rasa terima
kasih.
“Hei
Kichiyo-san”
“Apa?
Souta-san?”
“Kau...berhentilah
bersikap seperti anak kecil”
“…”
“Kau tau, suatu
hari nanti akan ada situasi dimana kau harus jujur pada dirimu sendiri”
“…”
Tiba-tiba
Souta menghentikan langkahnya, lalu berbalik untuk menatap Kichiyo.
“Kau
tau…aku mempercayaimu”
“Aku
tau”
Souta
tersenyum lebar, “Sekarang aku mendapat satu point tentangmu”
“Eh?
Apa?”
“Kau
benci menjadi orang dewasa karena mereka terlalu banyak berpikir. Tapi…bukankah
kau juga melakukannya? Kau…hanya ingin sebuah kamuflase agar tak ada yang tahu
seberapa rumit cara berpikirmu. Kau sedikit berbicara karena terlalu banyak
berpikir, tapi sayangnya itu malah menusukmu balik”
Kichiyo
mengerjap, dia tak menyalahkannya tapi juga tak membenarkannya. Dia…sekali lagi
tak mengerti. Apa dia benar-benar seperti itu?
Souta
menghela nafas, “Efek sampingnya, kau jadi tak mempercayai orang lain. Bahkan
kau bingung pada dirimu sendiri”
Tanpa
sadar Kichiyo melepaskan tangan Souta karena kaget. Semua ucapan Souta seolah
menohoknya.
“Kau
ingin orang lain mempercayaimu, melihatmu. Tapi apa kau pernah melihat orang
lain? Karena itu, bukan sikapmu yang kusebut seperti anak kecil. Tapi…cara
berpikirmu. Kau lebih egois dari bayi yang ingin memonopoli ibunya. Bahkan bayi
mempercayai ibunya, tapi kau bahkan tak bisa jujur pada dirimu sendiri”
Kichiyo
menatap Souta dengan tatapan tak percaya.
“Kau
mengerti dunia ini, lebih dari siapapun. Karena kau pengamat setiap pergerakan
manusia…bahkan alam. Tapi kenapa kau berpura-pura tak tahu? Apa dunia ini
semenakutkan itu?”, Souta menatap Kichiyo lembut, dia sekarang seolah mampu
membaca gadis itu seperti buku dongen bergambar. Setiap pergerakan gadis itu,
sekecil apapun kini mampu tertangkap oleh matanya.
“Kau
tau….ada banyak hal kecil yang kau lupakan. Ada begitu banyak orang yang
melihatmu, kau hanya perlu mempercayai mereka….”
“A-aku…”,
Kichiyo menghentikan ucapannya, matanya tertutupi oleh bayangan poninya. Sebuah
tarikan nafas berat yang disusul dengan hembusan nafas kasar. Dia seolah ingin
membuang semua beban yang selama ini dimpannya seorang diri.
Dia
menatap Souta dengan sebuah senyum di wajahnya, “Aku mempercayaimu”, ucapnya
mantap. Souta tersenyum lalu merangkul pundak kecil gadis itu, “Aku tak akan
mengecewakanmu”
“Maafkan aku,
Nii-san”
Dari
kejauhan seorang pria dengan rambut blonde dan scarf biru yang sewarna dengan
matanya, menatap mereka dari kejauhan. Sebuah senyum manis tersemat di
wajahnya, “Maaf diterima”
“Tsuki-kun!”
Akatsuki
menoleh untuk mendapati Yuhi yang menatapnya bingung. “Ada apa?”, tanya gadis
berambut pink itu.
“Tidak,
ayo ke kelas!”, ucapnya lalu berjalan tanpa mempedulikan tatapan penuh tanya
kekasihnya itu.
“Karena inilah
caraku melindungi adikku dari dunia ini…”
Dia
mengeluarkan smarthponenya, lalu mulai larut pada game yang baru saja selesai
di downloadnya. Tak menghiraukan jeritan kesal sang kekasih, dia berbelok ke
kelasnya lalu duduk di bangku paling pojok.
“Karena adikku
tetaplah gadis polos yang masih buta pada dunia”
“Kichiyo
Ayami…”
“EH??
APA KAU BARU SAJA MENGATAKAN NAMA PEREMPUAN LAIN??”
“Berisik!”
“Kubunuh
kau Akatsukiiiii!!!!!”
END
0 comments:
Post a Comment